Pukul 02.00
"Hei, tumben bangun jam segini lagi?"
Terlihat wajah yang sendu, duduk, dan menunduk.
"Mata kamu merah, masih ngantuk ya?
Hmm.. tumben bangun jam segini lagi. Kerjaan udah mulai gak padetkah? Bukannya lagi banyak kerjaan yang lagi numpuk ya, istirahat sana gih, ntar bangunnay kesiangan.
Oh iya, jangan terlalu pelit sih sama diri sendiri. Kadang kamu terlampau pelit kalau sama diri sendiri, ngerti gak,"
Sesaat wajahnya terangkat, lalu meletakkan tangannya ke pahanya, sambil meremas kain yang dia kenakan.
Dia memegangi pundaknya, tersenyum lalu berkata "Iya, aku tau kamu sedih, kamu takut, dan seluruh kegundahanmu aku ngerti. Dan sekarang, kamu bingung kan berdialog sama siapa? bagaimana kalau bermonolog sama aku?
Mari kita runtut siapa kamu,
Kamu adalah orang yang telah banyak bertemu dengan orang asing, dan kamu selalu berhasil merebut hati mereka. Bukan, bukan berarti mereka jatuh hati, bukan berarti mereka menyukaimu, tapi mereka merasa dekat denganmu. Oke, yang aku maksud merebut hati bukan melulu perihal merebut hati lawan jenismu.
Kamu tuh orang yang cukup berpengalaman di forum, disebuah tim, dan organisasi. Well, jauh kebelakang kamu punya banyak orang untuk diajak berdialog.
Dan dari semua hal yang pernah kamu lalui, aku tau sebenernya kamu gak pernah merasa dekat dengan siapapun. Bahkan kalau orang lain merasa dekat sama kamu, aku sangat yakin, kalau kamu gak pernah merasa dekat sama mereka. Seterbuka apapun mereka sama kamu, sebanyak apapun mereka berbagi cerita pribadi mereka sama kamu, kamu gak pernah merasa dekat dengan mereka.
Kamu punya banyak teman, tapi selalu memilih sendiri, kamu punya banyak orang yang merasa dekat sama kamu tapi kamu bahkan gak pernah ingin membagi hari bahagia dengan mereka."
*memeluk.
"Itu yang kamu pilihkan, memilih untuk menyelesaikan apa-apa sendiri, memilih untuk selalu terlihat baik untuk orang lain. Aku tau, sebaik-baiknya kamu, itu sebaik-baiknya kamu menutupi semua sifat buruk, dan kegelisahanmu. Aku salut, kita bertahan kayak gini.
Gakpapa gak masalah, kamu bisa selalu bermonolog sama aku, kapanpun, karena akulah yang paling dekat denganmu, aku yang paling tau perasaanmu, tentunya setelah Allah.
Memang bukanlah hal yang menyenangkan buatmu, membuka pembicaraan dengan orang asing, berbicara masalah pribadimu dengan orang terdekatmu, ya itu pilihan. Aku tau, kamu menghindari momen dimana orang jadi ikut memikirkanmu, orang jadi bersimpati, atau kamu selalu benci diperlakukan istimewa.
Gakpapa tenang."
Dia menggigit bibirnya, seolah menahan sesuatu.
"Gak usah ditahan."
"Argghhh!!!!!!!!" dia berteriak, dan menangis, pelukanya darinya masih tak terlepas, justru semakin erat. semakin hangat.
"Hei, tenang. Tenang ya, kamu masih punya tenagakan untuk menengadahkan tangan, kalau memang tangan berat, atau amit-amitnya gak ada, kamu punya mulut yang masih lancar untuk berbicara. Dan kalau kamu bahkan malu mengucapkan apa yang kamu inginkan. Kamu bisa mengatakannya dalam hati. Gak ada alasan untuk tidak berdo'a.
Kamu sudah berusaha baik untuk semua yang terjadi. Gak perlulah kamu berlarut, minta di-dikti sama Allah, minta dituntun, karena kamu itu buta akan masa depan, kamu hanya berhak untuk berjuang dan kamu berkewajiban untuk mengupayakan.
Semua yang kamu risaukan, masih ada di bumi. dan perjalanan kita masih sangat panjang.
Udahlah tenang,"
Tangisnya mulai terhenti, air matanya tak meronta untuk keluar.
"Gak perlu menyiksa diri sendiri lagi. Aku tau, kamu sadar yang kamu lakukan itu salah, dan kamu tetap melakukannya, karena mungkin berat hati. Belum terlambat untuk menegaskan diri sendiri.
Ingatkan, kamu selalu tegas dalam berinvestasi, dan kamu tau bahwa ada yang bisa dikendalikan dan tidak. Kamu gak bisa meminta seseorang memperlakukanmu seperti apa, tapi kamu bisa mengatur gimana kamu memperlakukan orang lain.
Kamu bertanggung jawab untuk terus menjadi pribadi yang lebih baik untuk dirimu sendiri, tapi orang lain tak memiliki kewajiban untuk memperbaiki diri buat kamu. Bukan kamu yang meminta orang lain menjadi baik, tapi menjadi baiklah untuk dirimu sendiri, dan orang yang kamu sayangi. Kamu dan orang-orang itu pantas untuk kamu yang lebih baik."
Tangannya kuat meremas paha-nya, wajahnya memerah dan basah. Dibantulah dia untuk berdiri.
"Tenang, masalahmu tak sebesar kuasa Tuhanmu, kita hanya berlebihan dalam menyikapinya,"
Dia berjalan menuju ranjangnya, menutup wajahnya dengan bantal.
Matanya berat untuk terpejam, pikirannya tlah lelah, dan mulutnya kaku karena lelah berteriak. Tangannya diletakkan diperutnya. Pandangannya kosong dan mulai berat.
Kalau kamu sendiri, aku juga sendiri. Kita adalah teman baik.
Tak lama setelahnya dia mulai memejamkan mata. Dan sosok itupun pergi menghilang. Sosok dirinya sendiri.
- End
"Hei, tumben bangun jam segini lagi?"
Terlihat wajah yang sendu, duduk, dan menunduk.
"Mata kamu merah, masih ngantuk ya?
Hmm.. tumben bangun jam segini lagi. Kerjaan udah mulai gak padetkah? Bukannya lagi banyak kerjaan yang lagi numpuk ya, istirahat sana gih, ntar bangunnay kesiangan.
Oh iya, jangan terlalu pelit sih sama diri sendiri. Kadang kamu terlampau pelit kalau sama diri sendiri, ngerti gak,"
Sesaat wajahnya terangkat, lalu meletakkan tangannya ke pahanya, sambil meremas kain yang dia kenakan.
Dia memegangi pundaknya, tersenyum lalu berkata "Iya, aku tau kamu sedih, kamu takut, dan seluruh kegundahanmu aku ngerti. Dan sekarang, kamu bingung kan berdialog sama siapa? bagaimana kalau bermonolog sama aku?
Mari kita runtut siapa kamu,
Kamu adalah orang yang telah banyak bertemu dengan orang asing, dan kamu selalu berhasil merebut hati mereka. Bukan, bukan berarti mereka jatuh hati, bukan berarti mereka menyukaimu, tapi mereka merasa dekat denganmu. Oke, yang aku maksud merebut hati bukan melulu perihal merebut hati lawan jenismu.
Kamu tuh orang yang cukup berpengalaman di forum, disebuah tim, dan organisasi. Well, jauh kebelakang kamu punya banyak orang untuk diajak berdialog.
Dan dari semua hal yang pernah kamu lalui, aku tau sebenernya kamu gak pernah merasa dekat dengan siapapun. Bahkan kalau orang lain merasa dekat sama kamu, aku sangat yakin, kalau kamu gak pernah merasa dekat sama mereka. Seterbuka apapun mereka sama kamu, sebanyak apapun mereka berbagi cerita pribadi mereka sama kamu, kamu gak pernah merasa dekat dengan mereka.
Kamu punya banyak teman, tapi selalu memilih sendiri, kamu punya banyak orang yang merasa dekat sama kamu tapi kamu bahkan gak pernah ingin membagi hari bahagia dengan mereka."
*memeluk.
"Itu yang kamu pilihkan, memilih untuk menyelesaikan apa-apa sendiri, memilih untuk selalu terlihat baik untuk orang lain. Aku tau, sebaik-baiknya kamu, itu sebaik-baiknya kamu menutupi semua sifat buruk, dan kegelisahanmu. Aku salut, kita bertahan kayak gini.
Gakpapa gak masalah, kamu bisa selalu bermonolog sama aku, kapanpun, karena akulah yang paling dekat denganmu, aku yang paling tau perasaanmu, tentunya setelah Allah.
Memang bukanlah hal yang menyenangkan buatmu, membuka pembicaraan dengan orang asing, berbicara masalah pribadimu dengan orang terdekatmu, ya itu pilihan. Aku tau, kamu menghindari momen dimana orang jadi ikut memikirkanmu, orang jadi bersimpati, atau kamu selalu benci diperlakukan istimewa.
Gakpapa tenang."
Dia menggigit bibirnya, seolah menahan sesuatu.
"Gak usah ditahan."
"Argghhh!!!!!!!!" dia berteriak, dan menangis, pelukanya darinya masih tak terlepas, justru semakin erat. semakin hangat.
"Hei, tenang. Tenang ya, kamu masih punya tenagakan untuk menengadahkan tangan, kalau memang tangan berat, atau amit-amitnya gak ada, kamu punya mulut yang masih lancar untuk berbicara. Dan kalau kamu bahkan malu mengucapkan apa yang kamu inginkan. Kamu bisa mengatakannya dalam hati. Gak ada alasan untuk tidak berdo'a.
Kamu sudah berusaha baik untuk semua yang terjadi. Gak perlulah kamu berlarut, minta di-dikti sama Allah, minta dituntun, karena kamu itu buta akan masa depan, kamu hanya berhak untuk berjuang dan kamu berkewajiban untuk mengupayakan.
Semua yang kamu risaukan, masih ada di bumi. dan perjalanan kita masih sangat panjang.
Udahlah tenang,"
Tangisnya mulai terhenti, air matanya tak meronta untuk keluar.
"Gak perlu menyiksa diri sendiri lagi. Aku tau, kamu sadar yang kamu lakukan itu salah, dan kamu tetap melakukannya, karena mungkin berat hati. Belum terlambat untuk menegaskan diri sendiri.
Ingatkan, kamu selalu tegas dalam berinvestasi, dan kamu tau bahwa ada yang bisa dikendalikan dan tidak. Kamu gak bisa meminta seseorang memperlakukanmu seperti apa, tapi kamu bisa mengatur gimana kamu memperlakukan orang lain.
Kamu bertanggung jawab untuk terus menjadi pribadi yang lebih baik untuk dirimu sendiri, tapi orang lain tak memiliki kewajiban untuk memperbaiki diri buat kamu. Bukan kamu yang meminta orang lain menjadi baik, tapi menjadi baiklah untuk dirimu sendiri, dan orang yang kamu sayangi. Kamu dan orang-orang itu pantas untuk kamu yang lebih baik."
Tangannya kuat meremas paha-nya, wajahnya memerah dan basah. Dibantulah dia untuk berdiri.
"Tenang, masalahmu tak sebesar kuasa Tuhanmu, kita hanya berlebihan dalam menyikapinya,"
Dia berjalan menuju ranjangnya, menutup wajahnya dengan bantal.
Matanya berat untuk terpejam, pikirannya tlah lelah, dan mulutnya kaku karena lelah berteriak. Tangannya diletakkan diperutnya. Pandangannya kosong dan mulai berat.
Kalau kamu sendiri, aku juga sendiri. Kita adalah teman baik.
Tak lama setelahnya dia mulai memejamkan mata. Dan sosok itupun pergi menghilang. Sosok dirinya sendiri.
- End